Dosen Hubungan Internasional (Tulus Yuniasih, M.Soc.Sc. dan Rizky Ihsan, M.Si.) bersama 8 orang Mahasiswa HI dari berbagai angkatan yaitu: Resandi Fahrul, Deasifa Aqmarina, Lisdawati, Sarah Maretha P, Eveline R , Ellsa Putri A S, Rifa Khoiriyah dan Rima Rifnasari menghadiri Regional Conference on Contemporary Warfare: Global Trend and Humanitarian Challenges, pada Rabu 05 September 2018 bertempat di Ruang Flores A, Hotel Borobudur, Jakarta.
Kegiatan ini dilatar belakangi mengingat semakin besarnya peran ASEAN di kancah global, sebagaimana tercermin oleh kursi non-permanen Indonesia di Dewan Keamanan PBB (UNSC) selama dua tahun dari Januari 2019, adalah waktu yang tepat untuk menghasilkan sebuah forum bagi para pemangku kepentingan untuk membahas tantangan-tantangan khusus yang terkait dengan kontemporer, peperangan, kemungkinan konsekuensi kemanusiaan dan dampak pada ketahanan masyarakat dan bangsa di Asia. Saling bertukar pandangan tentang topik ini juga sejalan dengan prioritas Negara Anggota ASEAN untuk mempertahankan “Peaceful, Secure and Stable Region”, , bekerja sama dengan Mitra Dialog dan pemangku kepentingan lainnya, sebagaimana tercantum dalam Blueprint ASEAN Political-Security Community Tahun 2025. Melalui serangkaian presentasi dan diskusi, peserta Conference on Contemporary Warfare ini diundang untuk memeriksa tren global saat ini dan untuk berbagi pandangan tentang bagaimana meminimalkan korban dalam kondisi medan perang modern. Acara ini diadakan di bawah Chatham House Rule.
Pada saat Pembukaan diisi oleh: Report of Convenors by Dr. Siswo Pramono, Head of Policy Analysis and Development Agency, on behalf of the Ministry of Foreign Affairs – Republic of Indonesia, and International Committee of the Red Cross –ICRC – Keynote by Prof Jurg Kesselring FRCP, Member of the ICRC Assembly, President of MoveAbility, Senior Ambassador and Neuroexpert, Dept of Neurology & Neurorehabilitation, Kliniken Valens – Switzerland – Keynote Address by AM Fachir, Vice Minister of Foreign Affairs, on behalf of H.E. Retno L.P. Marsudi, Minister of Foreign Affairs – Republic of Indonesia.
Dalam paparannya Prof Jurg Kesselring FRCP: Menekankan pentingnya ada kesamaan pemahaman mengenai aplikasi Hukum Humaniter Internasional (HHI), kerjasama dan kolaborasi berbagai aktor, serta dialog, bukan hanya untuk mencegah konflik, tetapi juga untuk membangun kapasitas dalam rangka mencegah berlakunya tragedi kemanusiaan. Hal ini penting mengingat tantangan-tantangan yang muncul dalam peperangan kontemporer, terutamanya tren peperangan di wilayah perkotaan (urban warfare) yang juga melibatkan penggunaan senjata dengan daya ledak pada populasi yang padat, serta kemutakhiran teknologi yang mendorong hadirnya senjata-senjata baru, serta berlangsungnya konflik tidak hanya pada konteks fisik tetapi juga pada arena siber. Menurut beliau Kemutakhiran teknologi kemudian juga mendorong pentingnya diskusi mengenai elemen kontrol oleh manusia (human control), apakah kemudian diperlukan adanya norma-norma baru, dan untuk memastikan peperangan kontemporer berlangsung sesuai dengan hukum sengketa bersenjata yang berlaku dalam rangka memaksimalisasi penegakan nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, dalam paparannya menekankan pentingnya keberadaan Indonesia sebagai anggota tidak tetap UNSC selama dua tahun sejak 2019; serta perkembangan yang ada dalam pertemuan 2018 CCW Group of Governmental Experts on lethal autonomous weapon systems, serta pertemuan tahun 2017 terkait Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT).
Dalam paparannya H.E. Retno L.P. Marsudi menekankan peluang dan tantangan yang dibawa oleh ICT, yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan manusia, tidak hanya dalam ekonomi tetapi juga bahkan kesehatan, serta untuk mengurangi kemiskinan. Menurut beliau ICT tidak hanya mendorong terciptanya industri 4.0 dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan, tetapi juga menekankan bahwa di sisi lain, ICT juga menciptakan berbagai tantangan. ICT menghadirkan berbagai aktor pengguna ICT sebagai pelaku serangan siber. ICT juga menciptakan kerumitan; teknologi seperti robot dan artificial intelligence mendorong terbentuknya new weapon system yang berpotensi sulitnya pembedaan antara kombatan dan non-kombatan. Serangan siber dapat mengancam fasilitas publik seperti rumah sakit. Drone dapat memberikan collateral damage pada masyarakat sipil, sehingga kerjasama dalam keamanan siber melalui capacity building, confidence building mechanism, serta terkait pembentukan norma-norma yang bersifat praktik untuk mengatur perilaku di dunia siber, merupakan hal yang penting.
Sesi satu membahas mengenai: New Technologies and the Modern Battlefield – Humanitarian Perspective dengan Moderator: Ambassador Prof Dr Makarim Wibisono, Former Permanent Representative in New York and Geneva – Republic of Indonesia – Pembicara pertama pada sesi satu Neil Davison, Scientific and Policy Adviser, Legal Division Arms Unit, ICRC – Geneva, memaparkan pembahasan dengan judul: “The ICRC’s Approach to New Technologies of Warfare – the Example of Autonomous Weapon Systems” – Pembicara kedua, Dr Tim McFarland, Research Fellow – Values in Defence & Security Technology, School of Engineering & Information Technology, The University of New South Wales, Australian Defence Force Academy, Canberra – Australia, membahas mengenai: “Drones and the Challenges of Remote Warfare” – Pembicara ketiga, Steven Hill, Legal Adviser and Director of the Office of Legal Affairs, membahas mengenai “NATO. New Technologies and the Protection of Civilians” – Pembicara keempat Dr Connie Rahakundini Bakrie, Institute of Defense and Security Studies – Republic of Indonesia, membahas mengenai: “Current Challenges in Relation to New Military Technologies and the Modern Battlefield” – Pembicara kelima, Dr Siswo Pramono, Head of Policy Analysis and Development Agency, Ministry of Foreign Affairs – Republic of Indonesia, membahas mengenai: “Indonesia’s Perspective on New Technologies and Conflict” – Sesi satu ditutup dengan interaksi tanya jawab. Pada sesi satu, sesi Q&A dan sesi interaksi berlangsung dengan aktif dan konstruktif. Salah satu usulan yang menarik yang diusulkan pada sesi interaksi adalah bahwa dalam rangka menghadapi senjata-senjata baru, penting untuk fokus pada mencari kesamaannya dibanding perbedaannya dengan senjata-senjata yang telah diatur.
Sesi dua membahas mengenai: The Impact of The ‘Information Age’ and the Cyber Threat dengan Moderator: Dr Landry Soebianto, Ministry of Foreign Affairs – Republic of Indonesia
– Pembicara pertama pada sesi dua, Dr Jan Römer, Regional Legal Adviser, Regional Delegation to Indonesia and Timor-Leste – ICRC, membahas mengenai: “The Emerging Threat of Cyber Warfare” – Pembicara kedua Madulika Srikumar, Senior Representative from the Observer Research Foundation (ORF), membahas mengenai: “India Cyber Wars in Cities and the Impact on the Civilian Population or Connected Cities and Cyber Attacks: How Vulnerable are We?: – Pembicara ketiga, Dr William Boothby – Former Air Commodore; Deputy Director, Legal Services, Royal Air Force – United Kingdom, membahas mengenai: “Cyber Warfare: How Does Law Protect in War?” – Pembicara keempat, Dr Kusnanto Anggoro, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia, membahas mengenai: “Republic of Indonesia Indonesia’s Perspective on the Information Age and the Strengthening of Cyber Resilience”. Pada sesi kedua ditutup dengan interaksi tanya jawab.
Sesi terakhir membahas mengenai “Perjanjian Internasional yang Mengikat untuk Membatasi Perlombaan Senjata Cyber?” Pertukaran perspektif tentang risiko efektif perang cyber dan relevansi perjanjian internasional baru untuk mengatur operasi dunia maya antar negara dipaparkan oleh Benjamin Ang, Senior Fellow, Centre of Excellence for National Security (CENS), S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) – Singapore
Foto-foto lainnya: