Center for South East Asian Studies (CSEAS) kembali mengadakan seminar ilmiah dengan tema lingkungan. Pada seminar yang diselenggarakan di Hotel Grand Hyatt, Jakarta pada 26 September 2019, CSEAS bekerjasama dengan Taipei Economic and Trade Office (TETO) mengambil topik mengenai sampah plastik di lautan dan circular economy. Program Studi Hubungan Internasional (Prodi HI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Budi Luhur, secara rutin menghadiri kegiatan forum ilmiah dan pelatihan yang diselenggarakan oleh CSEAS. Sebagai komitmen Prodi HI dalam pengembangan keilmuan HI secara komprehensif dan partisipatif, Prodi HI tidak hanya mengirimkan dosen, tetapi juga mahasiswa, terutamanya para mahasiswa tingkat akhir yang tengah melakukan penelitian untuk tujuan tugas akhir. Dalam seminar ini, delegasi dari Prodi HI terdiri dari: Ibu Tulus Yuniasih, M.Soc.Sc, selaku dosen kajian konflik dan keamanan, kawasan Asia Tenggara, dan kajian lingkungan; Sdr. Resandi Fahrul, mahasiswa angkatan 2016 yang aktif dalam kegiatan pembangunan masyarakat, dan pada saat ini tengah magang pada bidang lingkungan hidup; serta Sdr. Afrial Chalid Ananda, mahasiswa angkatan 2017 dengan fokus kajian pada paradigma ekonomi politik internasional.
Kegiatan ini berangkat dari perhatian besar pada jumlah sampah plastik di dunia, terutamanya yang menyebabkan polusi serta kerusakan di wilayah perairan laut. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan oleh panitia, manusia telah memproduksi 300 juta ton sampah plastik per tahunnya. Di antara jumlah tersebut, sampah plastik yang kemudian masuk ke lautan diestimasikan dapat mencapai 75,000 sehingga 17 juta ton. Sampah tersebut kemudiannya mengancam para hewan laut, serta rantai makanan yang ada di lautan. Berdasarkan latar belakang tersebut, kegiatan ini kemudian bertujuan untuk menghasilkan pemahaman lebih mendalam terkait isu sampah plastik di lautan, mendiskusikan penyebab dan dampak dari sampah plastik di lautan dalam kaitannya dengan pengelolaan sampah dan circular economy, mengeksplorasi kesempatan-kesempatan yang ada dalam kerjasama kawasan dalam isu ini dan untuk mengidentifikasi tantangan dan kesulitan yang mungkin muncul. Dalam mencapai tujuan tersebut, penyelenggara mensetting pembahasan dalam seminar untuk mencakup beberapa topik seperti kebijakan pemerintah lokal dan nasional (dalam hal ini Taiwan, Jepang, dan Indonesia) dalam mengurangi sampah plastik di lautan, peran industri dalam mengelola sampah plastik, pendekatan praktis dalam menghasilkan solusi alternatif termasuk teknologi yang efektif untuk memonitor polusi sampah plastik di lautan.
Sesuai jadwal acara, kegiatan dibuka dengan sambutan dari TETO. Pada sambutannya, TETO memulai dengan memberikan gambaran mengenai pentingnya mengetahui kondisi dunia saat ini yang 70%-nya telah ditutupi oleh air. Lebih lanjut, perwakilan TETO kemudian menekankan bahaya yang dapat dihasilkan dari plastik; bahwa 1 tas plastik memerlukan waktu bertahun-tahun untuk terurai. Karena sulit terurai inilah, maka para hewan di lautan terancam mengonsumsi plastik-plastik tersebut. Perwakilan TETO juga menyatakan harapan TETO bahwa hasil dari seminar ini akan dapat berkontribusi pada konferensi di Norwegia pada bulan Oktober mendatang. Upaya bersama adalah sangat penting.
Taiwan memiliki komitmen dalam memonitoring tingkat polusi, pengelolaan limbah, serta lainnya terkait dengan sampah di wilayah perairan laut (marine debris). Perwakilan TETO kemudian mengutip pernyataan dari Greta Thunberg yang baru-baru ini diberitakan di banyak media, aktivis lingkungan berumur 16 tahun yang mengkritik para pemimpin dunia terkait perubahan iklim. Penyebutan mengenai remaja berkebangsaan Swedia tersebut dimaksudkan untuk menekankan bahwa terhadap perhatian yang besar mengenai kehidupan generasi di masa depan, serta perhatian mengenai pihak-pihak yang memiliki kekuatan untuk melindungi lingkungan namun memilih untuk tidak melakukannya.
Pidato utama kemudian menghadirkan perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Bapak Dr. Ir. Sapta Putra Ginting, M.Sc, PhD. Bapak Sapta memulai pidato dengan menyajikan data dimana setiap 2 juta kubik air di lautan telah terkena polusi. Indonesia bahkan telah menjadi produsen sampah plastik di lautan sebesar 1,3 metrik ton; 80% di antaranya berasal dari daratan, dan sisanya dari aktivitas di laut. Bapak Sapta kemudian menyajikan berbagai kerangka hukum yang telah dibentuk oleh Pemerintah Indonesia dalam mengatasi pencemaran di lautan, salah satunya yang mendapatkan perhatian terbesar adalah Peraturan Presiden No. 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. Bapak Sapta kemudian juga menekankan bagaimana Pemerintah memandang penting sinergi dari berbagai instansi pemerintah. Semua upaya tersebut dilakukan dalam mencapai target penurunan sampah laut sebanyak 70% pada tahun 2025.
Setelah pidato utama, seminar dimulai dengan sesi pertama yang fokus pada kebijakan dalam mengurangi sampah plastik di wilayah perairan laut. Sesi pertama dimoderatori oleh Bapak Veeramala Anjaiah, seorang jurnalis senior pada media massa The Jakarta Post. Dalam sesi pertama, penyelenggara menghadirkan para perwakilan pemerintah Jepang, Taiwan, dan Indonesia. Pembicara pertama adalah Tsuji Keitaro yang merupakan Tenaga Ahli JICA untuk Kebijakan Lingkungan yang merupakan utusan dari Kementerian Lingkungan Hidup Jepang. Dalam pemaparannya, Mr. Keitaro menyatakan bahwa Jepang fokus pada pelaksanaan strategi 3R (Reduce, Reuse/Recycle, dan Recycled materials bio-plastic) dan Renewable. Kemudian, Mr. Keitaro juga menjelaskan bahwa kampanye Jepang dalam mengurangi sampah plastik juga didukung oleh upaya Jepang pada forum pemerintah internasional, salah satunya G20; yang terbaru adalah yang telah diselenggarakan pada 15 – 16 Juni silam. G20 pada tahun 2017 telah menyelenggarakan resource efficiency dialogue.
Dalam agenda lingkungan ini, Jepang berharap Indonesia dapat memimpin upaya pada level ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Mr. Keitaro kemudian menambahkan upaya Jepang melalui ASEAN, yaitu melalui East Asian Summit yang merupakan forum pertemuan bagi ASEAN dan 3 negara sahabat di kawasan Asia Timur. Jepang melalui EAS juga telah mendirikan Regional Knowledge Center for Marine Plastic Litter, yang berkantor di Senayan, Jakarta. Selain menunjukkan komitmen dalam bidang pendanaan, Jepang juga menyatakan komitmennya dalam menerapkan kerjasama dalam Program Monitoring Bersama bagi Sampah di Lautan. Target yang ingin dicapai adalah penyelenggaraan monitoring pada tahun 2020, serta pembentukan manual bagi pelaksanaan monitoring pada tahun 2021. Moderator kemudian menutup pemaparan pertama dengan menekankan pentingnya belajar dari Jepang terutamanya dalam tidak hanya membuat kebijakan, tetapi juga mampu mengimplementasikannya.
Pemaparan kedua diberikan oleh Mr. Yao-Cheng Wang yang merupakan perwakilan Departemen Pengelolaan Limbah, Taiwan EPA. Dari pemaparan Mr. Wang, salah satu hal yang menarik adalah penempatan stasiun-stasiun daur ulang yang tidak hanya di pedesaan, tetapi di pelabuhan.
Pemaparan kemudian dilanjutkan oleh Bapak Eddy Satriya, Asisten Deputi Bidang Telematika dan Utilitas pada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI. Beliau memulai pemaparan dengan mengingatkan peserta kepada kondisi ekonomi global yang tidak stabil. Dalam menghadapinya, Pemerintah Indonesia telah membentuk dan merealisasikan berbagai program seperti Making Indonesia 4.0, smart cities, on-line single submission, serta pengolahan limbah kepada menjadi energi. Indonesia sendiri masih berada pada tahap awal bahkan dalam memperkenalkan circular economy seperti dijelaskan oleh Joseph Schumpeter. Namun, Pemerintah Indonesia telah berupaya mengolah sampah dengan merubahnya kepada plastic tad road, limbah sebagai sumber energi, serta pengolahan plastik menjadi bahan bakar. Bagi Indonesia, upaya-upaya di atas dapat mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/Sustainable Development Goals/SDGs) poin 11. Sehingga yang diperlukan adalah pergeserta paradigma, dari pengurangan pipa, menjadi 3R dan EPR (Extended Producer Responsibility), serta circular economy.
Pemaparan terakhir dalam Sesi 1 diberikan oleh Ms. Sung. Ms. Sung dari Ocean Affairs Council (OAC), menjelaskan bahwa strategi yang digunakan fokus pada monitoring serta dalam menemukan hotspot, dan membersihkan serta mengoleksi hingga pembuangan akhir. Namun, bagi beliau, Tempat Pembuangan Akhir (landfill) adalah solusi terburuk. Menurut beliau, faktor terpenting dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan ini adalah jaringan daur ulang atau recycling network. Selain itu, kunci dari kesadaran lingkungan terletak pada pendidikan dan peningkatan partisipasi publik. Meskipun demikian, beberapa metode dapat dilakukan, bahkan oleh entitas non-pemerintahan. Ms. Sung memberikan salah satu contoh melalui Rapid Assessment, Visual Survey, serta Microplastic Monitoring. Ms. Sung kemudian menekankan pengurangan penggunaan stereofoam pada peternakan tiram laut. Kemudian, Ms. Sung juga menjelaskan taktik mengombinasikan upaya pemerintah dengan ritual keagamaan nelayan lokal dalam hal mempromosikan kesadaran tersebut. Beliau kemudian juga menyajikan contoh pencapaian dengan menggunakan teknologi yang terjangkau. Salah satunya kemudian diketahui sebagai driftwood boom yang terdiri dari pengapung (float) dan jaring-jaring yang murah dan terjangkau.
OAC kemudian juga berupaya untuk bekerjasama dengan perusahaan, pengembang teknologi, serta NGO dalam menghasilkan produk daur ulang berupa barang konsumsi (consumer goods); sebagai contoh adalah bekerjasama dengan Adidas, Nike, NGO Parley, bahkan Disney dan lainnya. Sesi pertama ditutup dengan dua (2) buah pertanyaan. Pertanyaan pertama fokus pada motivasi pengagendaan isu lingkungan hidup di antara ketiga pemerintah, serta tantangan-tantangan yang muncul dalam forum G20 terkait promosi agenda pengelolaan sampah plastik di perairan laut. Merespon pertanyaan tersebut, Mr. Keitaro menekankan pentingnya prinsip voluntary framework dalam kerjasama melalui G20.
Dengan demikian, diharapkan terdapat forum berbagi pengalaman implementasi kebijakan terbaik (best practices). Ms. Sung menambahkan pentingnya golden triangle yang mewakili partisipasi bersama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan terkait sampah plastik di lautan. Pertanyaan kedua fokus pada relevansi permasalahan sampah plastik di lautan dengan circular economy, karena terdapat gap yang cukup jelas di antara kedua isu tersebut. Setelah sesi pertanyaan selesai, moderator menutup sesi dan seminar langsung dilanjutkan dengan sesi yang kedua.
Sesi kedua dimoderatori oleh Dr. Alin Halimatussadiah, akademisi dari Universitas Indonesia. Pada sesi kedua, penyelenggara menghadirkan dua pembicara dari Taiwan, yaitu Mr. Lin Chung-Hua dari Institution for Economic Research, dan Ms. Ho Ting-Fea dari Plastic Industry Development Council (PIDC); dan seorang pembicara dari Indonesia yaitu Ibu Felicita Yanti dari Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI).
Sesi kedua disusun untuk membahas tantangan dalam implementasi pendekatan circular economy. Pada pemaparan pertama, Mr. Lin menyatakan bahwa sebagian besar sampah di Taiwan telah berakhir pada proses pembakaran. Mr. Lin juga memaparkan budaya yang telah terbentuk pada masa kini di Taiwan. Masyarakat Taiwan telah membagi-bagi sampah mereka sesuai jenisnya, seperti sampah makanan, sampah yang dapat didaur ulang, dst. Setiap malamnya, akan ada tiga truk yang datang ke wilayah-wilayah di Taiwan untuk mengumpulkan sampah-sampah sesuai dengan jenisnya masing-masing.
Pendekatan seperti ini membantu dalam pengelolaan sampah di Taiwan. Mr. Lin juga menunjukkan bagaimana sampah plastik dapat diolah ke dalam berbagai bentuk produk yang menarik seperti Gedung EcoARK. Mr. Lin juga menambahkan bahwa salah satu upaya dalam meningkatkan kesadaran serta apresiasi bagi pemikiran-pemikiran yang kontributif dalam pengelolaan sampah, telah terdapat Circular Economy Award di Taiwan.
Pemaparan kedua disampaikan oleh Ibu Felicita mewakili ADUPI. Ibu Felicita menjelaskan dengan tegas ruang lingkup kegiatan ADUPI. Dalam memahami peran ADUPI, Ibu Felicita memaparkan proses serta identifikasi aktor-aktor dalam pengelolaan sampah. ADUPI berada pada tahapan-tahapan akhir proses pengelolaan sampah plastik. Artinya, sebelum ADUPI melaksanakan perannya, terdapat berbagai stakeholder lain. Artinya, ADUPI harus dapat beradaptasi dan melakukan pendekatan yang tidak hanya dapat memudahkan proses, namun juga sehingga tidak ada kendala bagi ADUPI dalam menjalankan berbagai programnya untuk mendaur ulang sampah plastik. Ibu Felicita menyebutkan bahwa bahkan dalam dunia pengelolaan sampah plastik, masih terdapat oknum-oknum yang menetapkan harga plastik bekas yang tinggi, sebelum sampai/dijual kepada ADUPI untuk diolah. ADUPI saat ini kemudian fokus pada perubahan pola pikir (mindset) atau persepsi terhadap plastik, dan dengan dibandingkan dengan bahan-bahan dasar lainnya seperti kertas, gelas, dan plastik. Perubahan pola pikir krusial karena melarang penggunaan plastik bukan solusi. Bagaimanapun, plastik tetap dicari oleh masyarakat. Kemudian, faktor lain yang perlu diperhatikan berkaitan dengan jumlah atau besarnya sampah yang tidak dapat diurai.
Ms. Ho Ting-Fei pada pemaparannya sebagai pemapar terakhir, menyatakan bahwa perlu adanya kerjasama internasional dalam bentuk country-to-country. Kemudian, Ms. Ho juga menyatakan bahwa perusahaan penghasil sampah mencapai lebih dari 90%nya merupakan perusahaan kecil dan menengah (Small and Medium Enterprises/SMEs). Ms. Ho juga menjelaskan bahwa di PIDC, ruang lingkup upayanya juga mencakup bagaimana menghasilkan consumer goods dari proses pendaur ulangan sampah plastik. Sehingga, institusi seperti PIDC juga perlu memperhatikan unsur estetika dan fungsi. Sebagai contoh adalah pada kacamata hitam yang merupakan produk hasil daur ulang dari jaring ikan. Selain itu, PIDC juga harus mempertimbangkan desain produk yang dapat “berbicara” kepada konsumen mengenai pentingnya pengelolaan sampah plastik serta pentingnya menjaga lingkungan. Selain dalam bentuk produk konsumsi akhir seperti pada penjelasan di atas, termasuk di antara produk tersebut adalah EcoTravel. Ms. Ho kemudian juga menjelaskan mengenai keberadaan Ocean Plastic Coalition (OPC) yang kemudian mencakup supply-and-demand chain.
Sesi kedua diakhiri dengan tanya jawab. Pertanyaan pertama terkait dengan proses pembentukan perubahan perilaku masyarakat agar akomodatif kepada sistem pengelolaan sampah yang baik dan terkontrol. Untuk pertanyaan ini, Mr. Lin menyatakan bahwa pembentukan perilaku memerlukan puluhan tahun, kesungguhan dalam penerapan peraturan, serta peran edukasi kepada masyarakat. Pertanyaan kedua fokus pada implementasi 3R sebagai proses yang bersifat hirarkis. Ibu Felicita menjawab bahwa tidak ada keharusan pengimplementasikan 3R secara hirarkis.
Dari penjelasan pada seminar ini, salah satu poin utama penting yang relevan dengan peran akademisi dalam sektor lingkungan adalah pada sinergi aktivitas penjagaan lingkungan, terutamanya pada jalur edukasi. Bagi perguruan tinggi, kegiatan edukasi dapat diwujudkan melalui penelitian, kerjasama dengan para stakeholder eksternal terutamanya NGO, pusat riset, perusahaan swasta, serta pemerintah, serta program pengabdian yang mendukung sosialisasi serta peningkatan kapasitas dan kapabilitas masyarakat dalam pengelolaan sampah plastik sehingga nantinya dapat terwujud sinergi di antara seluruh stakeholder dalam mewujudkan kondisi lingkungan dengan sampah plastik pada level minimal. Universitas Budi Luhur telah memiliki Bank Sampah yang aktif dalam program-programnya. Ke depannya, diharapkan dengan kehadiran Bank Sampah, dan didukung dengan peningkatkan aktivitas kampanye perlindungan lingkungan pada berbagai level, para civitas akademika Universitas Budi Luhur dapat berkontribusi positif dalam penjagaan kelestarian bumi sehingga dapat menjadi tempat yang lebih baik dan lebih sehat bagi generasi di masa depan serta makhluk hidup lainnya dalam melangsungkan berbagai aktivitasnya.